Jelajah Kuliner Nusantara: SELAT SOLO, Ikon Budaya Yang Dinamis

Sabtu, 25 Juli 2020 07:03 wisata Jawa Tengah kuiner Jawa Tengah kuliner Solo Selat Soloo R Hendro Rpu jelajah kuliner nusantara
Jelajah Kuliner Nusantara: SELAT SOLO, Ikon Budaya Yang Dinamis
Jelajah Kuliner Nusantara: SELAT SOLO, Ikon Budaya Yang Dinamis

foto: resepkoki.id

Dinamika keterbukaan Solo nampak pada dua kuliner khas-nya yakni Timlo yang mendapat pengaruh kuat kuliner Tionghoa, dan Selat Solo yang kuat pengaruh Eropa.
Tulisan dan ulasan: R Hendro Rpu

YUKBIZ.COM - Sejak abad-17 hingga sekarang, pusat kebudayaan Jawa kemudian direpresentasikan pada dua kota; Solo dan Jogja.

Hal tersebut berkaitan erat dengan peristiwa penting sejarah yakni pembagian wilayah kerajaan Mataram Islam menjadi Kasunanan Surakarta (Solo) dan Kasultanan Yogyakarta (Yogya), pada perjanjian Giyanti 13 Februari 1755.

Sejak saat itu, bukan hanya pusat kekuasaan Jawa yang terbagi dua, melainkan juga kutub dan corak kebudayaan Jawa juga terbagi dua.

Perbedaan corak budaya itu secara definitif ditandai pada perjanjian Jatisari, berselang dua hari setelah perjanjian Giyanti, yakni pada 15 Februari 1755.

BACA JUGA:

* Kampuspreneur UIR Sediakan Rp 200 Juta untuk 20 Proposal Terbaik

* Datang ke Bengkel dan Merawat Motor di Era New Normal? Bisa Kok, Simak Tips Dari Yamaha

Pertemuan diadakan di Jatisari dekat Solo, antara Sunan Pakubuwono III sebagai penguasa Surakarta dengan Sultan Hamengkubuwono I sebagai penguasa Yogyakarta, dan wakil dari VOC.

Salahsatu isi penting dari perjanjian Jatisari adalah berkenaan dengan tradisi dan budaya yang akan dipakai oleh kedua negara baru itu.

Mengutip dari Rizal Setyo N (kompas.com), pada kesempatan itu disepakati bahwa Sultan Hamengku Buwono I akan melestarikan dan meneruskan tradisi budaya dan adat istiadat Kerajaan Mataram sebelum terjadinya pembagian.

Sementara itu Sunan Paku Buwono III memilih akan membangun dan mengembangkan sebuah kebudayaan dan tradisi budaya Jawa baru yang tetap berlandaskan pada budaya lama.

Perjanjian Jatisari itu menjadi titik tolak perkembangan dan perbedaan dua kutub budaya Jawa tersebut, hingga sekarang.

Perbedaan itu menyangkut banyak aspek produk budaya; baik sastra, pewayangan, tembang, gending, batik, pakaian, bangunan juga makanan.

Secara umum dapat dikatakan bahwa Jogja lebih 'klasik' sedangkan Solo lebih 'dinamis'.

Hal ini karena memang Solo mengambil sikap terbuka terhadap kebudayaan baru.

Misalnya nampak bahwa beskap Solo dipengaruhi jas Eropa, keraton Solo banyak menambahkan ornamen khas Eropa pada bangunannya, batik dan pewayangan yang banyak kreasi baru, dst.

Hal tersebut didukung pula kemudian perkembangan kota Solo yang lebih pesat secara ekonomi, dan kosmopolitan (dihuni banyak ras) dibandingkan Yogya.

Dalam hal makanan, perbedaan dua kota juga sangat kentara.

Gudeg sebagai warisan kuliner Mataram, juga berkembang berbeda di dua kota tersebut.

Gudeg Jogja lebih tradisional dan manis, sementara Gudeg Solo lebih menampilkan estetika kuliner modern dengan rasa yang moderat (seimbang) antara manis gurih asinnya.

BACA JUGA:

* Tol Pekanbaru-Dumai Kapan Bisa Dilalui? Ini Harapan Gubernur Riau Syamsuar

* Sony ZV-1 Kamera Baru Yang Oke Buat Ngevlog. Resmi Dijual di Indonesia, Harganya Berapa?Tengok yuk

Berbeda dengan Jogja, kuliner Solo pun kemudian berkembang dengan lebih beragam, dan moderat dalam rasa.

Diantara banyak kuliner Solo, sebut saja tengkleng, nasi liwet, sate buntel, dst, Dinamika keterbukaan Solo nampak pada dua kuliner khas-nya yakni Timlo yang mendapat pengaruh kuat kuliner Tionghoa, dan Selat Solo yang kuat pengaruh Eropa.

Melihat penampilan Selat Solo, kita dapat segera mengenali corak Eropa disana, tetapi nuansa lokal (Jawa) tetap dapat kita rasakan, terlebih jika lidah kita sudah mencicipinya.

Nama 'selat' mengacu dari bahasa Belanda 'selade' (Inggris: salad) yakni gabungan berbagai sayuran yang disiram semacam saus atau kuah.

Pada Selat Solo, memang kita dapat jumpai berbagai sayuran serta saus dan kuah sebagai syarat sebuah 'salad' disana.

Akan tetapi, adanya daging disana juga mengingatkan pada 'steak' atau 'beef steak'.

Selat Solo memang ada yang menyebut juga sebagai 'Bistik Jawa'. Kenyataannya memang dapat dikatakan Selat Solo adalah gabungan antara 'salade' (salad) dengan 'biefstuk' (beefsteak).

Citarasa lokal pada Selat Solo dapat kita temui pada penggunaan bawang merah, bawang putih, kecap, asam jawa atau cuka dan pala.

Hal tersebut yang membuat Selat Solo bercitarasa manis, asin, gurih, segar juga sedikit pedas yang didapatkan dari penambahan merica.

Penambahan unsur telur rebus pada Selat Solo, juga pembeda dengan steak umumnya.

Kadang bahkan ada yang menyajikan Selat Solo dengan telur pindang, dimana kita tahu telur pindang adalah pengaruh kuliner Tionghoa.

Maka dapat dikatakan ada pengaruh Eropa, Tionghoa dan Jawa pada sepiring Selat Solo.

Cara mengolah daging juga ada perbedaan dengan 'beefsteak' pada umumnya.

Kalau steak pada umumnya daging dibakar dengan potongan tebal dan pemanggangan tidak terlalu lama.

BACA JUGA:

* Industri Kelapa Sawit Dorong Energi Ramah Lingkungan;  Pertamina Produksi Solar hingga Avtur Kelapa Sawit

* Kasihan Nian, Harga Benih Lobster di Nelayan Cuma Rp 3.000, di Pengepul Rp 20.000. Bagaimana Ini?

Sedangkan Selat Solo daging dimasak dengan racikan bumbu, dengan sebelumnya daging dilumuri bumbu dulu.

Baru setelah itu daging diiris tipis.

Meskipun ada juga ada yang memasak dengan daging diiris tipis dulu, atau bahkan daging dihancurkan dan diberi bumbu baru dikukus (galantin).

Pada masanya, Selat Solo adalah makanan kalangan atas; para bangsawan, priyayi, dan para pejabat.

Selat Solo juga berguna sebagai sajian pergaulan kelas atas antara orang-orang Belanda (Eropa) dan golongan bangsawan serta priyayi Jawa, karena memang Selat Solo dapat diterima lidah kedua bangsa dengan penyesuaian yang menarik pada racikannya.

Pada perkembangannya, Selat Solo kian berkembang menjadi kuliner umum yang dapat dinikmati berbagai kalangan.

Bahkan kemudian kuliner ini kian identik dengan kota Solo disamping kuliner-kuliner khasnya yang lain.

Komposisi Selat Solo pun seiring perkembangan juga mengalami berbagai kreasi, misalnya dengan penambahan mayonais, mustard (yang sebelumnya dibuat dari kuning telur), juga kentang goreng tipis.

Menyantap sepiring Selat Solo memang serasa menyantap sepiring hidangan sehat yang komplit sekaligus lezat.

Memang demikianlah kenyataannya.

Protein dari daging dan telur, karbohidrat dari kentang, vitamin, serat dan antioksidan dari sayur yang direbus tak terlalu lama serta dari bumbu-bumbu.

Selain Anda dapat menjumpainya saat mengunjungi kota Solo, tentu Anda dapat menyajikan Selat Solo sebagai variasi sajian sehat dan lezat bagi keluarga Anda.

Berikut resep Selat Solo dari femina.co.id :

Bahan (untuk 6 porsi) :
800 g daging sapi has dalam
2 sdm margarin
1 buah bawang bombai (belah 2, iris memanjang)
1 l air
100 ml kecap manis
1 sdm air asam jawa
3 buah tomat,potong-potong

BACA JUGA:

* Harga CPO Membaik, Saham Emiten Sawit Ikut Menguat  

Berita Terkait