Sekarang tentunya kembali kepada para pelaku UMKM yang ada di Indonesia. Siapkah untuk memanfaatkan pasar yang tersedia sebesar 7,6 milliar jiwa tersebut yang tergabung dalam Connected Society yang tidak bisa terpisahkan antar negara tempat mereka bermukim, dengan tanpa batas wilayah tentunya? Inilah tantangan dari para pelaku UMKM.
Berpikir dengan hanya mengeluh bahwa ada 2 hal yang selalu dijadikan alasan oleh para pelaku UMKM tidak bisa maju yaitu: 1) keterbatasan akses modal dan 2) keterbatasan dalam hal pemasaran.
Bahkan pihak pemerintah pun sering dijadikan sasaran disalahkan, karena dianggap tidak bisa membantu mencari solusi untuk 2 masalah tersebut. Secara cerdas, dalam era disrupsi ini, mengenai sulitnya akses modal bukanlah yang pantas untuk dijadikan alasan bagi UMKM. Sebab secara domestik, pihak pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan KUR dengan bunga yang terjangkau dan tanpa agunan untuk pinjaman sejumlah tertentu, dan untuk wilayah global, sudah ada Start Up Company Kickstarter yang punya program menghubungkan para innovator dengan para investor terkait produk-produk inovativ, tentu yang dibantu adalah produk-produk yang inovatif.
Belajar dari The Longjing
Ada kisah menarik yang juga bisa dijadikan contoh menarik bahwa untuk menjadi pengusaha UMKM sukses itu tidaklah harus menjadi besar skala usahanya dan berbiaya besar terlebih dahulu.
BACA JUGA:
* Akses Ekspor Manufaktur Bakal Diperluas ke Asia Pasifik, Timur Tengah, dan Afrika
* Menteri Teten Masduki Akan Fokus Dorong Ekspor Produk UMKM
Contoh inspiratif ini ada di China. China memiliki teh Longjing yang selalu oleh pihak Kantor Perdana Menteri China, dijadikan oleh-oleh untuk tamu-tamu negara. Kebun teh Longjing itu sudah terkenal sejak 2 atau 3 abad yang lalu, dan teh tersebut adalah jenis teh hijau diperuntukkan sebagai minuman bagi para raja-raja dan biksu. Di Bukit Longjing perkebunan teh ini sering dikunjungi para wisatawan mancanegara, dan disana banyak para penjual UMKM pedagang pikulan penjual buah plum dengan barang bawaannya sekitar 1 kilo sampai dengan 2 kilo saja.
Walaupun bukit Longjing di area pedesaan namun oleh para penjual buah plum tersebut, alat pembayarannya sudah menggunakan Alipay dan mengapa mereka hanya membawa pikulan dagangannya maksimal 2 kg, hal itu bukan berarti mereka tidak sanggup lebih banyak, namun mereka menjualnya tetap mengedepan aspek tradisional yaitu dengan pikulan, namun alat pembayarannya sudah menggunakan e-money (Alipay), dan yang lebih mantap lagi, mereka hanya menjadi barang pikulan itu adalah barang jualannya sekalian jadi contoh produk.
Mereka menjadikan bukit Longjing tersebut sebagai awal dari terwujudnya “connected society”, yaitu transaksi dagang secara global tanpa batas.
Ini sangat menarik bagi para pelaku UMKM tentunya. Bahwa segeralah merubah mindset bahwa target market kita bukanlah hanya sebatas jumlah penduduk sekitar kita atau jumlah penduduk yang ada di propinsi kita, namun pasar kita adalah terbuka luas yaitu pasar dunia, dan itulah connected society. (*)