Antara tahun 1996 dan 2002 Charpentier melanjutkan penelitiannya di Amerika Serikat, pertama di New York dan kemudian di Memphis.
Kembali ke Eropa, ia mendirikan grupnya sendiri di Universitas Wina, di mana, pada tahun 2006, ia menjadi Kepala Lab di Laboratorium Max F. Perutz.
Pada tahun 2009 dia pindah ke Universitas Umeå di Swedia, di mana dia mendirikan sebuah proyek pada rangkaian CRISPR.
Charpentier menemukan peran penting dari molekul yang disebut trans-activating CRISPR RNA (tracrRNA) dalam sistem kekebalan pada bakteri.
Hasil ini mengarah pada kolaborasi dengan Jennifer Doudna dan pada tahun 2012 yang akhirnya mereka berhasil menunjukkan potensi sistem CRISPR-Cas9 untuk pengeditan gen.
BACA JUGA:
* Facebook Bantu UKM Indonesia Rp 12,5 Miliar, Ini Cara Mendapatkannya
* Nantikan Oppo Reno4 F Meluncur 12 Oktober di Indonesia, Ini Fitur Andalannya
Setelah Umeå, Charpentier pindah ke Jerman dan sejak 2015 menjadi Direktur Institut Max Plank untuk Biologi Infeksi di Berlin.
Untuk karyanya, Charpentier telah menerima banyak penghargaan, termasuk Penghargaan Terobosan dalam Ilmu Hayati, Hadiah Yayasan Warren Alpert, dan Hadiah Novozymes.
Jennifer Doudna
Sebelum menemukan teknologi CRISPR/Cas9 bersama Charpentier, Jennifer Doudna (56) terlebih dulu berhasil mengungkap struktur dasar dan fungsi ribozim pertama, sejenis asam ribonukleat katalitik (RNA) yang membantu mengkatalisis reaksi kimia.
Pekerjaan ini membantu meletakkan dasar untuk teknologi CRISPR/Cas9, alat canggih yang mampu mengedit gen dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya dan dengan biaya minimal.